TAFSIR Q.S. AL-QASHASH: 77 TENTANG PERILAKU KONSUMEN
TAFSIR Q.S. AL-QASHASH: 77 TENTANG PERILAKU KONSUMEN
DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK 5
YUNI ADITYA ( 2020710042 )
VENNY RIZKA OKTAVIANA ( 2020710045 )
SRI LISTRIANA SARI ( 2020710046 )
KELAS: B2-HER
DOSEN PENGAMPU: DR. H. AHMAD ATABIK, LC., M.S.I.
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
FAKULTAS SYARIAH – HUKUM EKONOMI SYARIAH
Jl.Conge Ngembalrejo Kotak Pos 51 Kudus 59322 Telepon (0291) 438818 Faksimile 441613
Email : akademik@iainkudus.ac.id website : www.iainkudus.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah kami sampaikan ke hadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan hidayah dan rahmat-Nya sehinggga penulisan makalah dengan judul “TAFSIR Q.S. AL-QASHASH: 77 TENTANG PERILAKU KONSUMEN ” ini dapat terselesaikan dengan baik.
Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas dari dosen bapak Dr. H.Ahmad Atabik, LC., M.S.I. Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Dr. H.Ahmad Atabik, LC., M.S.I. selaku dosen mata kuliah tafsir hukum ekonomi. Sehingga dengan adanya tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan kami.
Kami menyadari makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna . Oleh karena itu, adanya kritik dan saran dari pembaca yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Kudus, 13 Maret 2021
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Tafsir secara etimologi mengikuti wazan taf’il, berasal dari kata fasr yang berarti al-idah, al-sharh dan al-bayan (penjelasan atau keterangan). Ia juga berarti al-ibanah (menerangkan), al-kashf (menyingkap) dan izhar al-ma’na al-ma’qul (menampakkan makna yang rasional). Ada yang mengatakan bahwa tafsir berasal dari safru (dengan menukar tempatnya sin dengan fa’ seperti kata orang Arab, “asfara al-subh} idha ada’a” artinya apabila shubuh itu telah bersinar. Ada pula yang mengatakan ia berasal dari kata tafsirah, yaitu nama dari alat yang digunakan oleh dokter untuk mengetahui keluhan pasien. Ibnu Manzur dalam Lisan al-‘Arab menjelaskan bahwa “fasr” adalah menyingkap sesuatu yang tertutup dan tafsir adalah menyingkap makna yang dikehendaki dari lafadz yang musykil. Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa tafsir secara etimologis dapat dipakai untuk menyingkap sesuatu yang bersifat indrawi dan dapat pula digunakan untuk menyingkap sesuatu yang bersifat maknawi (makna rasional dari suatu teks).
Sementara itu, Mustafa Muslim, memberikan definisi tafsir dengan “ilmu untuk menyingkap makna ayat-ayat al-Qur’an dan menjelaskan maksud firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia”. Adapula pendapat (seperti dirunut oleh al-Suyuti) yang mendefinisikan, tafsir ialah ilmu tentang turunnya ayat, keadaan-keadaannya, kisah-kisahnya, sebab-sebab turunnya, urut-urutan makki-madani-nya, muhkam mutashabih-nya, nasikh mansukh-nya, ‘am-khas-nya, mutlaq muqayyad-nya, mujmal mufassarnya, halal haramnya, janji dan ancamannya, perintah dan larangannya, teladanteladannya dan perumpamaan-perumpamaannya”.
RUMUSAN MASALAH
Apa pengertian Tafsir itu ?
Apa pengertian Tafsir menurut para ulama ?
Apa pengertian perilaku konsumen ?
Bagaimana tafsir surat Al-Qashah ayat 77 ?
TUJUAN PEMBAHASAN
Untuk mengetahui apa pengertian tafsir itu
Untuk mengetahui pengertian tafsir menurut para ulama
Untuk mengetahui pengertian perilaku konsumen
Untuk mengetahui bagaimana tafsir surat Al-Qashah ayat 77
BAB II
PEMBAHASAN
PENGERTIAN TAFSIR
Secara etimologi, tafsir berarti menjelaskan (الايضاح) menerangkan (التبيين), menampakan (الاظهار), menyibak (الكشف) dan merinci (التفصيل). Tafsir berasal dari isim masdar dari wajan (تفعيل). Kata tafsir diambil dari bahasa arab yaituيفسّر تفسيرا فسّر yang artinya menjelaskan. Pengertian inilah yang dimaksud di dalam lisan al arab dengan كشف المغطلى ( membuka sesuatu yang tertutup ). Pengertian tafsir secara bahasa ditulis oleh Ibnu Mahdzur ialah membuka dan menjelaskan maksud yang sukar dari suatu lafaz. Pengertian ini pulalah yang diistilahkan oleh para ulama tafsir dengan ايضاح و التبيين ( menjelaskan dan menerangkan ). Di dalam kamus bahasa indonesia kata “ tafsir” diartikan dengan keterangan atau penjelasan tentang ayat-ayat Al-Qur’an.
Sedangkan tafsir secara istilah terdapat beberapa pendapat para ulama tafsir, antara lain :
1. Pendapat Abd al-Azhim al-Zarqani dalam Manahil al-'Irfan fi 'Ulum al-Qur`an mengatakan:
علم يبحث عن القران الكريم من حيث دلالته على مراد الله تعالى بقدر الطاقة البشرية
"ilmu yang membahas tentang al-Qur`an dari segi dilalah-nya berdasarkan maksud yang dikehendaki oleh Allah sebatas kemampuan manusia"
2. Menurut Khalid bin Utsman al-Tsabt dalam Qowa'id al-Tafsir, tafsir adalah:
علم يبحث فيه عن أحوال القران العزيز من حيث دلالته على مراد الله تعالى بقدر الطاقة البشرية
"Ilmu yang membahas tentang keadaan al-Qur`an dari segi dilalah-nya berdasarkan maksud yang dikehendaki oleh Allah sebatas kemampuan manusia"
Ada beberapa titik perhatian rumusan tafsir dari definisi yang diberikan al-Zarqani dan Khalid bin Utsman al-Tsabt, yaitu:
1. Membahas tentang al-Qur`an
Ilmu ini hanya membahas ilmu al-Qur`an. Maka tidak termasuk ke dalam kategori ini ilmu-ilmu lain.
2. Membahas maksud ayat
Berdasarkan definisi di atas, maka hal-hal di luar pembahasan yang berhubungan dengan maksud ayat tidak dikategorikan kepada tafsir seperti ilmu rasm, ilmu qira'at.
3. Sesuai dengan kemampuan manusia
Penafsiran yang dilakukan terhadap al-Qur’an adalah sebatas kemampuan manusia. Dengan kata lain, hal-hal yang di luar batas kemampuan manusia bukanlah termasuk lapangan kajian tafsir. Tidak perlu memaksakan diri untuk mengetahui tafsir al-Qur`an karena dapat menyeret mufasir kepada penafsiran-penafsiran yang menyimpang dan melewati batas.
4. Dalam al-Mu'jam al-Wasîth disebutkan bahwa tafsir al-Qur`an adalah:
توضيح معاني القران, وما انطوت عليه اياته من عقائد و أسرار و حكم و أحكام
"Penjelasan makna al-Qur`an dan menghasilkan kaidah-kaidah, rahasia-rahasia, hikmah-hikmah dan hukum-hukum dari ayatnya."
Fokus tafsir dari definisi di atas adalah dengan menjelaskan makna al-Qur`an akan diperoleh darinya kaidah-kaidah, rahasia-rahasia, hikmah-hikmah dan hukum-hukum. Artinya, sasaran akhir tafsir adalah mengeluarkan kaidah-kaidah, rahasia-rahasia, hikmah-hikmah dan hukum-hukum.
5. Sementara al-Zarkasiy merumuskan tafsir dengan:
علم يعرف به كتاب الله المنزل على نبيه محمد صلى الله عليه وسلم و بيان معانيه و استخراج احكامه و حكمه
"Ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi, menjelaskan maknanya serta mengeluarkan hukum atau hikmah darinya"
6. Rumusan tafsir menurut al-Kilbi dalam al-Tashil:
شرح القران و بيان معناه و الأفصاح بما يقتضيه بنصّه إو إشارته أو نجواه
"Menguraikan al-Qur`an dan menguraikan maknanya, memperjelas makna tersebut sesuai dengan tuntutan nash atau adanya isyarat yang mengarah ke arah penjelasan tersebut atau dengan mengetahui rahasia terdalamnya."
Titik perhatian kedua definisi di atas adalah persoalan:
1. Pemahaman terhadap al-Qur`ân.
2. Menjelaskan makna ayat.
3. Mengeluarkan hukum-hukum.
4. Menggali hikmah-hikmah Titik fokus definisi ini adalah ilmu.
Kedua definisi ini lebih mengacu dan lebih mengarah kepada urgensi tafsir karena tujuan utama tafsir adalah usaha yang dilakukan dalam memahami al-Qur`an, mengeluarkan hukum-hukum serta mengambil pelajaran-pelajaran yang terdapat di dalam al-Qur`an.Menurut Ruysdi AM, ketika mengomentari berbagai definisi tafsir, sepertinya ada kesepakatan tentang tafsir dikontekskan sebagai "ilmu" yang instrumental dalam membahas al-Qur`an. Sedangkan selebihnya dihubungkan dengan "orientasi" detail dan general kajiannya. Tafsir belum lagi dipisahkan antara sebagai "konsep ilmu" dan sebagai "konsep metodik", sehingga ketika ia dibahas cenderung menimbulkan kerancuan yang kemudian akan berimplikasi pula terhadap wacananya.
Pengertian Teori Perilaku Konsumen
James F. Angel berpendapat bahwa Perilaku konsumen didefinisikan sebagai tindakan-tindakan individu yang secara langsung terlibat dalam usaha memperoleh dan menggunakan barang-barang jasa ekonomis termasuk proses pengambilan keputusan yang mendahului dan menentukan tindakantindakan tersebut (Mangkunegara, 2012). David L. Loudon dan Albert J. Della Bitta (1979) mengemukakan bahwa Perilaku konsumen dapat didefinisikan sebagai proses pengambilan keputusan dan aktivitas individu secara fisik yang dilibatkan dalam proses mengevaluasi, memperoleh, menggunakan atau dapat mempergunakan barang-barang dan jasa. Menurut Gerald Zaltman dan Melanie Wallendrof Perilaku konsumen adalah tindakan-tindakan, proses, dan hubungan sosial yang dilakukan individu, kelompok dan organisasi dalam mendapatkan, menggunakan suatu produk atau lainnya sebagai suatu akibat dari pengalamannya dengan produk, pelayanan dan sumber-sumber lainnya. J. Paul Peter (1996) mengatakan bahwa Perilaku konsumen adalah interaksi dinamis antara pengaruh dan kognisi, perilaku dan kejadian di sekitar kita dimana manusia melakukan aspek pertukaran dalam hidup mereka.
TAFSIR SURAT AL- QASHASH: 77 TENTANG PERILAKU KONSUMEN
Nash dan arti QS. Al Qashash ayat : 77
وَابـْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الآخِ رَةَ وَلا تـَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنـْيَا وَأَحْسِ نْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلا تـَبْغِ الْفَسَادَ فيِ الأرْضِ إِنَّ اللَّهَ لا يحُِبُّ الْمُفْسِ دِينَ
Artinya: Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
Tafsir Ayat dari Buku ada beberapa tafsiran mengenai QS Al Qashash ayat: 77
diantaranya:
Tafsir Al Maraghi.
Kaum Qarun mengemukakan beberapa nasehat : الآخِرَةَالدَّارَاللَّھُآتَاكَفِیمَاوَابْتَغِ
Pergunakanlah harta dan nikmat yang banyak yang diberikan Allah kepadamu ini untuk mentaati Tuhanmu dan mendekatkan diri kepadanya dengan berbagai macam cara pendekatan yang mengantarkanmu kepada perolehan pahala-Nya di dunia dan akhirat. Ditegaskan dalam hadits:
“Pergunakanlah lima perkara sebelum lima perkara lain datang, yaitu masa mudamu sebelum masa tuamu, kesehatanmu sebelum sakitmu, kekayaanmu sebelum kemiskinanmu, kesengganganmu sebelum sibukmu dan hidupmu sebelum matimu.” الدُّنْیَامِنَنَصِیبَكَتَنْسَوَلا
Janganlah kamu meninggalkan bagianmu dari kesenangan dunia dari perkara makan, minum dan pakaian, karena Tuhanmu mempunyai hak terhadapmu, dirimu mempunyai hak terhadapmu, demikian pula keluargamu, mempunyai hak terhadapmu. إِلَیْكَاللَّھُأَحْسَنَكَمَاوَأَحْسِنْ
Berbuat baiklah kepada makhluk Allah, sebagimana Dia telah berbuat baik kepadamu dengan nikmat-Nya yang Dia limpahkan kepadamu, karena itu, tolonglah makhluk-Nya dengan harta kemuliaanmu, muka manismu, menemui mereka secara baik, dan memuji mereka tanpa sepengetahuan mereka. الأرْضِفِیالْفَسَادَتَبْغِوَلا
Dan janganlah kamu tumpukkan segenap kehendakmu untuk berbuat kerusakan di muka bumi dan berbuat buruk kepada makhluk Allah. Nasehat-nasehat ini dikemukakan dengan alasan:
الْمُفْسِدِینَیُحِبُّلااللَّھَإِنَّ
Karena sesungguhnya Allah tidak akan memuliakan orang-orang yang suka mengadakan kerusakan, malah menghinakan dan menjauhkan mereka dari dekat kepada-Nya dan tidak memperoleh kecintaan serta kasih sayang-Nya.
Tafsir Al Azhar.
Harta benda itu adalah anugerah dari Allah. Dengan adanya harta itu janganlah engkau sampai lupa bahwa sesudah hidup ini engkau akan mati. Harta benda dunia ini, sedikit ataupun banyak semata-mata hanya akan tinggal di dunia.
Kalau kita mati kelak, tidak sebuah jua pun yang akan dibawa ke akhirat. Sebab itu pergunakanlah harta ini untuk membina hidupmu yang di akhirat itu kelak. Berbuat baiklah, nafkahkanlah rezeki yang dianugerahkan Allah itu kepada jalan kebajikan. Niscaya jika engkau mati kelak, bekas amalanmu untuk akhirat itu akan engkau dapati berlipat ganda di sisi Allah. Danyang untuk dunia janganlah pula dilupakan.
Tinggallah dalam rumah yang baik, pakailah kendaraan yang baik moga-moga semuanya itu diberi puncak kebahagiaan dengan isteri yang setia. Berbagai tafsir dibuat oleh para ahli. Ada yang mengatakan bahwa nasib di dunia itu ialah semata-mata menyediakan kain kafan. Karena itulah hanya barang dunia yang akan engkau bawa ke kubur. Tetapi Ibnu Arabiy memberikan tafsir yang lebih sesuai dengan roh Islam: “Jangan lupa bahagianmu di dunia, yaitu harta yang halal.” “Dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepada engkau.” Kebaikan Allah kepada engkau tidaklah terhitung banyaknya. Sejak engkau dikandung ibu, sampai engkau datang ke dunia.
Dari tidak mempunyai apa-apa, lalu diberi rezeki berlipat ganda. Maka sudah sepatutnyalah berbuat baik pula, yaitu al-ihsan.“Dan janganlah engkau mencari-cari kerusakan di muka bumi.” Segala perbuatan yang akan merugikan orang lain, yang akan memutuskan tali shilahturahmi, aniaya, mengganggu keamanan, menyakiti hati sesama manusia, berbuat onar, menipu dan mengecoh, mencari keuntungan semata untuk diri dengan melupakan kerugian orang lain, semuanya itu adalah merusak.
“Sesungguhnya Allah tidaklah suka kepada orang-orang yang berbuat kerusakan.” Kalau Allah telah menyatakan bahwa Dia tidak menyukai orang yang suka merusak di muka bumi, maka balasan Tuhan pasti datang, cepat ataupun lambat kepada orang yang demikian. Dan jika hukuman Tuhan datang, seorang pun tidak ada yang mempunyai kekuatan dan daya upaya buat menangkisnya.
Berbagai tafsir dibuat oleh para ahli. Ada yang mengatakan bahwa nasib di dunia itu ialah semata-mata menyediakan kain kafan. Karena itulah hanya barang dunia yang akan engkau bawa ke kubur. Tetapi Ibnu Arabiy memberikan tafsir yang lebih sesuai dengan roh Islam: “Jangan lupa bahagianmu di dunia, yaitu harta yang halal.” “Dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepada engkau.” Kebaikan Allah kepada engkau tidaklah terhitung banyaknya. Sejak engkau dikandung ibu, sampai engkau datang ke dunia. Dari tidak mempunyai apa-apa, lalu diberi rezeki berlipat ganda. Maka sudah sepatutnyalah berbuat baik pula, yaitu al-ihsan.“Dan janganlah engkau mencari-cari kerusakan di muka bumi.” Segala perbuatan yang akan merugikan orang lain, yang akan memutuskan tali shilahturahmi, aniaya, mengganggu keamanan, menyakiti hati sesama manusia, berbuat onar, menipu dan mengecoh, mencari keuntungan semata untuk diri dengan melupakan kerugian orang lain, semuanya itu adalah merusak. “Sesungguhnya Allah tidaklah suka kepada orang-orang yang berbuat kerusakan.” Kalau Allah telah menyatakan bahwa Dia tidak menyukai orang yang suka merusak di muka bumi, maka balasan Tuhan pasti datang, cepat ataupun lambat kepada orang yang demikian. Dan jika hukuman Tuhan datang, seorang pun tidak ada yang mempunyai kekuatan dan daya upaya buat menangkisnya.
Tafsir Al Lubab.
Pada ayat 76, Qarun mendapat nasehat dari kaumnya. Kemudian, dilanjutkan dengan ayat 77 yang bagaikan menyatakan: “Ini bukan berarti engkau hanya boleh beribadah murni dan melarangmu memperhatikan dunia. Tidak! Berusahalah sekuat tenaga dan pikiranmu dalam batas yang dibenarkan Allah swt.
Untuk meraih harta dan hiasan duniawi dan carilah secara bersungguh-sungguh melalui apa yang telah dianugerahkan Allah swt. kepadamu dari hasil usahamu itu kebahagiaan negeri akhirat dengan menginfakkan dan menggunakannya sesuai petunjuk Allah swt., dan dalam saat yang sama janganlah mengabaikan bagianmu yang halal dari kenikmatan dunia dan berbuat baiklah kepada semua pihak disebabkan karena Allah swt. telah berbuat baik kepadamu dengan aneka nikmat-Nya, dan janganlah berbuat kerusakan dalam bentuk apapun dibagian manapun di bumi ini. Sesungguhnya Allah swt. tidak menyukai para pembuat kerusakan.”
Tafsir Al Misbah.
Kata (اَیمِف : dipahami oleh Ibnu ‘Asyur mengandung makna terbanyak atau pada umumnya, sekaligus melukiskan tertancapnya ke dalam lubuk hati upaya mencari kebahagiaan ukhrawi melalui apa yang di anugerahkan Allah dalam kehidupan dunia ini. Dalam konteks Qarun adalah gudang- gudang tumpukan harta benda yang dimilikinya. atau melupakan larangan merupakan) الدُّنْیَامِنَنَصِیبَكَتَنْسَوَلا) Nya-Firman mengabaikan seseorang dari kenikmatan duniawi. Larangan itu dipahami oleh sementara ulama bukan dalam arti haram mengabaikannya, tetapi dalam arti mubah (boleh untuk mengambilnya) dan dengan demikian – tulis Ibnu ‘Asyur – ayat ini merupakan salah satu contoh penggunaan redaksi larangan untuk makna mubah atau boleh. Ulama ini memahami kalimat di atas dalam arti “Allah tidak mengecammu jika engkau mengambil bagianmu dan kenikmatan duniawi selama bagian itu tidak atas resiko kehilangan bagian kenikmatan ukhrawi. Merupakan nasihat yang perlu dikemukakan agar siapa yang dinasihati tidak menghindar dari tuntutan itu. Tanpa kalimat ini, boleh jadi yang dinasihati itu memahami bahwa ia dilarang menggunakan hartanya kecuali untuk pendekatan diri kepada Allah dalam bentuk ibadah murni semata-mata. Dengan kalimat ini, menjadi jelas bagi siapa pun bahwa seseorang boleh menggunakan hartanya untuk tujuan kenikmatan duniawi selama hak Allah menyangkut harta telah dipenuhinya dan selama penggunaannya tidak melanggar ketentuan Allah SWT.
Kata ( َیبِصَن (adalah bagian tertentu yang telah ditegakkan sehingga menjadi nyata dan jelas bahwa bagian itu adalah hak dan miliknya dan atau itu tidak dapat dielakkan. Sementara ulama berpendapat bahwa “nashib” manusia dari harta kekayaan di dunia ini hanyalah “Apa yang dimakan dan habis termakan, apa yang dipakai dan punah tak dapat dipakai lagi serta apa yang disedekahkan kepada orang lain dan yang akan diterima ganjarannya di akhirat nanti.” Pendapat yang lebih baik adalah yang memahaminya dalam arti segala yang dihalalkan Allah. Harta yang diperoleh manusia secara halal dapat digunakannya secara baik dan benar sebagimana digariskan Allah.Dia hanya berkewajiban mengeluarkan bagian yang ditentukan dalam bentuk zakat yang wajib. Selebihnya adalah halal umtuk dinikmatinya, kecuali kalau dia ingin bersedekah. Larangan melakukan perusakan setelah sebelumnya telah diperintahkan berbuat baik, merupakan peringatan agar tidak mencampuradukkan antara kebaikan dan keburukan. Sebab keburukan dan perusak merupakan lawan kebaikan. Penegasan ini diperlukan walau sebenarnya perintah berbuat baik telah berarti pula larangan berbuat keburukan perusakan dimaksud menyangkut banyak hal.
Di dalam al Qur’an sudah ada contohnya saat puncaknya adalah merusak fitrah kesucian manusia, yakni tidak memelihara tauhid yang telah Allah anugerahkan kepada setiap insan. Dibawah peringakat itu ditemukan keengganan menerima kebenaran dan pengorbanan nilai-nilai agama, seperti pembunuhan,perampokan, pengurangan takaran dan timbangan, berfoya-foya, pemborosan, gangguan terhadap kelestarian lingkungan, dan lain-lain.
Tafsir Surat Al- Qashash Makna Secara Ijmal
Sesuai dengan maknanya, surat al-Qashas lebih banyak bercerita tentang perjalanan hidup nabi Musa as. dari kecil hingga perjalanannya dalam mengemban misi nabiyullah. Banyak sekali tantangan dan rintangan yang dialaminya.Selain itu juga dijelaskan (di antaranya kedua kisah itu) tentang kebenaran yang akan menang dan berpihak pada orang Islam, sebagaimana dialami oleh nabi Muhammad dan sahabatnya pada waktu hijrah ke Madinah.
Surat al-Qashash ayat 77 merupakan rangkaian kisah Qarun. Ayat ini berisi nasehat yang diberikan oleh kaum Qarun kepada Qarun. Ada empat nasehat yaitu:
a. Kekayaan yang diberikan Allah dengan memanfaatkan di jalan Allah, patuh dan taat pada perintah-Nya, mendekatkan diri kepada-Nya agar memperoleh pahala di dunia dan akhirat.
b. Jangan lupa atau meninggalkan kesenangan dunia sama sekali misalnya makan, minum, pakaian, dan kesenangan-kesenangan lain selagi tidak bertentangan dengan ajaran Allah.
c. Berbuat baik pada sesama, sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.
d. Jangan membuat kerusakan di atas bumi.
C. Tafsir Surat Al-Qashash Ayat 77 Pendapat Para Mufassir
Dalam mengkaji ayat al-Qur’an, pendapat para mufassir berperan penting sebagai acuan dalam mengetahui dan memahami masalah yang dibahas dalam ayat yang dikaji. Berikut ini pendapat beberapa mufassir mengenai surat al-Qashas ayat 77:
Ahmad Musthofa al-Maraghi
Surat al-Qashas ayat 77 mengemukakan empat nasehat yaitu:
وابتغ فيما اتك اليه دار الاخرة (1
Harta dan nikmat yang telah diberikan oleh Allah hendaklah digunakan untuk mentaati Tuhan dan mendekatkan diri kepada-Nya. Hal itu dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan yang akan menghantarkan manusia dalam memperoleh pahala di dunia dan akhirat.
Disebutkan dalam hadits:
عن ابن عباس ان النبي صلى االله عليه وسلم قال لرجل وهو
يعظه: اغتنم خمسا على خمس: شبابك قبل هرمك, وصحتك قبل
سقمك, وغناك قبل فقرك, وفراغك قبل شغلك, وحياتك قبل
(رواه الحكم) موتك
Artinya: “Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya Nabi bersabda kepada seorang laki-laki, ia memberi nasehat kepadanya: “Pergunakanlah lima perkara sebelum datang lima perkara: Masa mudamu sebelum masa tuamu, kesehatanmu sebelum sakitmu, kekayaanmu sebelum kemiskinanmu, kesengganganmu sebelum kesibukanmu dan hidupmu sebelum matimu”. (HR. Hakim)
ولاتنس نصيبك من الدنيا (2
Manusia tidak boleh melupakan urusan dunia seperti makan, minum, pakaian, karena Tuhan berhak terhadap manusia, dirinya berhak atas dirinya sendiri, demikian pula keluarganya berhak atas dirinya. Hal ini diperkuat oleh Ibnu Umar:
اعمل لدنياك كأنك تعيش ابدا, واعمل لاخرتك كأنك تموت غدا
Artinya: “Bekerjalah untuk dirimu seakan kamu akan hidup untuk selamanya dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan kamu akan mati esok”. Allah tidak memerintahkan umat-Nya untuk 100% total beribadah tanpa memikirkan urusan dunia. Dunia dan akhirat harus seimbang.
واحسن كما احسن االله اليك (3
Hendaklah manusia berbuat baik terhadap sesama, sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadanya dengan memberi nikmat yang banyak. Berbuat baik dapat berupa memberi pertolongan terhadap sesama dengan harta dan kemuliaan, muka manis, menemui secara baik, dan memberi pujian tanpa sepengetahuan mereka.
ولاتبغ الفساد فى الارض (4
Jangan menumpukkan segenap kehendak untuk berbuat kerusakan di bumi dan berlaku buruk pada sesama dikemukakan dengan alasan bahwa Allah tidak akan memuliakan orang yang berbuat kerusakan. Sebagaimana bunyi pada akhir surat :
ان االله لايحب المفسدين
Imam Isma’il Haqqi al-Barusawy
Ayat ini menjelaskan untuk mencari apa yang dianugerahkan Allah dari harta benda bukan dengan apa yang dianugerahkan Allah . Maksudnya adalah usaha untuk mencari dan memiliki harta الدار الاخرة yaitu pahala Allah yang bisa diperoleh dengan mentasyrifkan kekayaan kepada fakir miskin, menyambung silaturrahmi, melepaskan tawanan, dan sebagainya
ولاتنس jangan meningalkan, dengan benar-benar meninggalkan keberuntungan di dunia. Artinya, mengambil sebagian atau secukupnya harta yang telah dianugerahkan untuk mencukupi kebutuhan hidup di dunia.
Sebagaimana Ali r.a. berkata :
لاتنس صحتك وقوتك وشبابك وغناك
“Janganlah kamu lupakan kesehatanmu, kekuatanmu, masa mudamu dan kekayaanmu”. Hal ini diperkuat dengan hadits Rasul : “Ingatlah lima perkara sebelum datang lima perkara”. Dalam hidup manusia tersebut boleh menyia-nyiakan nikmat yang sedang diterima. Nikmat tersebut harus dimanfaatkan secara benar agar tidak menyesal di kemudian hari (saat nikmat dicabut dari diri manusia). Nikmat Allah tidak hanya berupa harta kekayaan, tetapi dapat berupa kesehatan, kekuatan, kekayaan, umur panjang, waktu luang dan lain-lain. Sebagian orang arif mengatakan bahwa harta/materi mereka di dunia adalah sebagaimana sabda Nabi yaitu “Aku mencintai tiga hal dari dunia, yaitu wangi-wangian, wanita dan kegembiraan dalam melaksanakan shalat”.
Syaikh Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah (HAMKA)
Akan tetapi carilah dengan apa yang dianugerahkan Allah itu akan negeri akhirat dan janganlah lupa akan bahagiamu daripada dunia. Harta benda merupakan anugerah Allah yang harus dijaga agar tetap digunakan dalam jalan Allah. Harta tidak akan dibawa pemiliknya ke akhirat. Dengan amal perbuatan selama hidup itulah manusia menghadap Tuhannya. Maka gunakan harta tersebut dengan cara menafkahkan pada jalan kebajikan. Ada yang mengatakan bahwa nasib di dunia semata-mata menyediakan kain kafan. Tetapi Ibnu al-Araby memberikan tafsir yang sesuai dengan roh Islam, “jangan lupa bagianmu di dunia, yaitu harta yang halal”.Untuk menyediakan kain kafan diperlukan usaha untuk memperolehnya yaitu dengan bekerja. Bekerja untuk mendapatkan harta yang halal. “Halal” berasal dari akar kata yang berarti “lepas atau terikat”. Sesuatu yang halal adalah yang terlepas dari ikatan bahaya duniawi dan ukhrawi. Dalam bahasa hukum, kata ini mengacu segala sesuatu yang diperbolehkan agama, baik bersifat sunnah, makruh maupun mubah.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Al-Qur’an menggambarkan kehidupan di dunia sebagai permainan dan sendau gurau. Dunia tidak abadi. Oleh karena itu, umat Islam harus berjalan menuju Allah, tak terpengaruh oleh kehidupan dunia, dan tak menjadikannya sebagai ganti dari akhirat. Banyak yang memberikan nasehat perihal tidak menjadikan dunia sebgai orientasi dalam hidup, di antaranya nasehat dari nabi Isa AS. dan nasehat dari Ibnu Abbas. Zuhud tidak berarti meninggalkan dunia secara keseluruhan. Artinya tak lain adalah berhubungan dengannya namun tak melakukan pemujaan terhadapnya.
SARAN
Sebaiknya kita membeli sesuatu yang merupakan kebutuhan yang diperlukan saja. Dan juga berhemat dengan menggunakan uang dengan sebaik- baiknya agar kita bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari – hari dengan tidak hidup boros yang dapat membuat kita merugi.
DAFTAR PUSTAKA
Dasuki, Hafizd dkk. (1985). Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid VII, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an.
Al-Maraghi, Ahmacd Mustofa. 1989, Terjemah Tafsir al-Maraghi,Semarang: Toha Pu
Ali ibnu Hajar, Ahmad ibnu. Fathul Bary: Syarah Shahih Bukhari, Beirut: Darah Fikr
http://digilib.uinsby.ac.id/4485/5/Bab%202.pdf
https://amanmanan.weebly.com/pengertian-tafsir.html
tafsir-tarbawi-ii-jangan-lupakan-bagian-hidup-duniawi-qs-al-qashash-ayat-77.pdf
0 Response to "TAFSIR Q.S. AL-QASHASH: 77 TENTANG PERILAKU KONSUMEN "
Posting Komentar